Ilustrasi : indoprogres.com |
Aku terduduk di sebuah taman yang tak asing lagi bagi sekelompok orang—berjas putih, pakaian bermerek nan anggun dan rapi— yang tiap harinya melintasi taman itu atau tak asing juga bagi kalian. Taman kecil yang menjadi tempat “nongkrong” dengan kursi beton berbentuk siku, pepohonan yang kulit batangnya mulai keriput termakan waktu, lampu taman yang entah menyala atau tidak bila malam telah tiba dan beragam macam tanaman serupa bunga—entah bunga atau hanya rumput liar— berjejer rapi di sekitar taman.
Siang, di taman kecil itu aku terduduk dengan sesekali membuka dan memandangi lembar demi lembar dari tumpukan kertas yang dikemas rapi, merasakan angin tertiup dari seluruh penjuru menembus selah pepohonan yang berdiri kokoh di sekitaran taman, daun kering berjatuhan dan tertiup angin sepoi yang membuatku membayangkan mungkin begini rasanya musim gugur yang terjadi di luar negeri sana. Sungguh membuat mata ingin terpejam dan lalu tidur.
Suasana yang menyenangkan bagiku dan juga bagi kalian, namun tidak bagi mereka. Mereka yang dari berbagai umur, jenis kelamin dan pekerjaan tidak sempat menikmati waktunya untuk merasakan seperti yang aku dan kalian rasakan. Mereka malah sibuk menyapu dedaunan, memunguti sampah yang berserakan bahkan ada dari sekelompok orang itu sibuk dengan campuran—semen, pasir dan kerikil—yang harus segera disatukan dengan batu buatan yang berwarna kemerahan. Iya, itulah mereka yang tergolong dalam kelas pekerja.
Kalian mungkin bertanya-tanya mengapa orang-orang tersebut digolongkan dalam kelas pekerja ? Bukankah orang-orang itu sama bekerjanya dengan orang-orang lain yang bekerja—karyawan atau pegawai—di sebuah instansi pemerintahan atau swasta ? Lantas, apa yang membedakannya ? Tak ada bedanya antara kedua golongan tersebut yang sama-sama kelas pekerja. Aku tahu itu dari sebuah tumpukan kertas usang yang disusun rapi layaknya sebuah buku atau mungkin itu memang sebuah buku.
Di dalam buku itu, seorang pemikir abad ke-19 menumpahkan segala apa yang dipikirkannya mengenai perbedaan kelas yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep sosialisme. Pemikir tersebut adalah Karl Heinrich Marx yang lahir di Jerman 2 abad silam. Sampai sekarang pemikiran Marx mengenai perbedaan kelas masih tetap menjadi pondasi perlawanan bagi para penganut pemikirannya.
Apa kalian tahu pembagian kelas yang Marx maksud ?
Perbedaan kelas yang dimaksud Marx yaitu kelas borjuasi dan proletarian. Mungkin kalian bingung dengan pembagian kelas yang Marx maksudkan. Bagi Marx, pembagian kelas antara borjuasi dengan proletarian terletak pada kepemilikan alat-alat produksi. Kelas borjuasi atau penguasa menjadikan mereka sebagai pemilik atas alat-alat produksi yang memungkinkan kelas proletarian dimana dalam hal ini adalah kelas pekerja akan terus dieksploitasi. Hal tersebut tidak terlepas dari sebuah konsep pemenuhan kebutuhan hidup. Bagi kaum proletarian, kerja adalah syarat mutlak untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama lagi bagi mereka yang hanya menggantungkan hidupnya dari upah buruh atau dari upah kerja serabutan. Sedangkan bagi kaum borjuasi mengeksploitasi tenaga kerja merupakan cara untuk mempertahankan kekuasaan atau bahkan melebarkannya.
Oh iya, bagi Marx tak ada yang membedakan antara buruh, karyawan, pegawai kantoran atau jenis pekerjaan apapun itu selama masih menjadi bahan eksploitasi kaum borjuasi. Namun, seringkali para “kerah putih” atau pekerja kantoran tidak sadar bahwa diri mereka juga termasuk dalam kelas pekerja. Mereka tidak sadar bahwa waktu, pikiran, tenaga dan kemampuan yang mereka miliki digunakan untuk menjalankan roda-roda produksi yang membuat mereka tenggelam dalam kesadaran palsu. Coba saja kalian bayangkan jika mereka sadar dari kesadaran palsunya, sadar betapa dieksploitasinya mereka dan sadar bahwa mereka hanya menjadi alat. Sungguh sangat disayangkan karena mereka telah puas dengan pekerjaan-pekerjaanya yang membuat mereka merasa masuk ke dalam kelas borjuasi.
Kalian tahu apa yang ada dalam kepalaku setelah semua potongan-potongan ingatan mengenai perbedaan kelas itu muncul ? Aku memikirkan para kaum buruh, miskin kota, para pekerja serabutan yang menggantungkan hidupnya dari upah yang minim. Coba kalian bayangkan apa yang akan terjadi bila orang-orang itu di PHK atau tak mendapatkan pekerjaan dalam sehari, seminggu atau sebulan ? Sangat berbeda bagi proletarian lain yang memiliki pekerjaan tetap dan upah lebih seperti karyawan dan pegawai di sebuah instansi. Upah buruh atau pekerja serabutan tak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan, tak sebanding dengan waktu yang harus mereka korbankan dalam menjalankan roda produksi kaum borjuasi. Tak nyaman memikirkan kaum borjuasi yang penuh dengan eksklusifitasnya menjalani kehidupan dan dengan petantang petentengnya terus mengeksploitasi kaum proletarian. Begitu banyak ketimpangan jika memikirkannya. Apa kalian sudah bisa membayangkannya ? Membayangkan begitu timpangnya kehidupan di sekeliling kita.
Aku kembali dari ingatan-ingatan itu dan melihat diriku masih terduduk di taman ini. Kupandangi sekitar taman yang suasananya masih seperti tadi. Orang-orang itu masih sibuk bekerja—memunguti sampah, menyapu dedaunan—sesuai kerjanya masing-masing. Sementara itu, orang-orang berpakain rapi nan anggun sibuk lalu lalang di sekitaran taman tak lupa juga orang-orang yang berjas putih tadi. Aku dan kalianpun juga sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sibuk menikmati suasana taman dengan sesekali mengernyitkan dahi karena telah dihinggapi rasa miris akan ketimpangan hidup. Apa kalian juga merasakan hal sama ? Jika tidak, marilah mulai dengan melihat di sekeliling kita. Bisa jadi, kitalah nantinya yang akan menggantikan orang-orang itu, entah menjadi pengeksploitasi atau menjadi bahan eksploitasi. Kita yang akan memilihnya.
Oleh: Dhe